This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 April 2011

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru (H1N1)

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Influenza A Baru (H1N1)
DEPARTEMEN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
SEPTEMBER 2009

KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

Kejadian Luar Biasa (KLB) influenza A Baru H1N1 di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Meskipun influenza yang ditimbulkan termasuk ringan, tetapi penyebarannya yang sangat mudah dari manusia ke manusia menyebabkan tingginya tingkat kesakitan karena virus influenza ini. Selain itu adanya kekhawatiran kemungkinan perubahan atau mutasi genetik dari virus influenza A Baru H1N1 yang ada menjadi lebih lebih berat daripada saat ini. Meskipun saat ini jumlah kasus influenza yang disebabkan Influenza A Baru H1N1 di dunia mulai menurun, tetapi ada kekhawatiran dari para ahli akan adanya kemungkinan terjadinya peningkatan kasus (gelombang kedua) di pergantian musim
mendatang. Untuk itu dalam upaya pelaksanaan penanggulangan Pandemi Influenza perlu
adanya suatu kegiatan yang menyeluruh yang meliputi pencegahan melalui komunikasi,
edukasi dan informasi ke seluruh masyarakat dan penatalaksanaan kasus.
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan influenza A Baru H1N1 ini disusun oleh
para Tim Pakar untuk menjadi acuan pegangan yang dapat digunakan oleh para
petugas dalam pelaksanaan penanggulangan pandemi influenza.
Pedoman ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan situasi
dan akan direvisi sesuai dengan situasi dan informasi terbaru.
Jakarta, September 2009
Dirjen PP&PL
Prof. dr.Tjandra Yoga Aditama
ii
DAFTAR ISI
Hal
Pengantar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
i
Daftar isi ii
Tim Penyusun iii
I Pendahuluan 1
II Epidemiologi dan Surveilans 2
III Diagnosis pada Dewasa dan Anak 3
IV Tatalaksana pada Dewasa dan Anak 4
V Tatalaksana ICU pada Dewasa 6
VI Tatalaksana ICU pada Anak 9
VII Laboratorium 11
VIII Imunisasi Influenza A Baru (H1N1) 11
IX Rekomendasi Penelitian 12
X Penutup 13
ii
TIM PENYUSUN
TIM PAKAR KESIAPSIAGAAN
Ketua
Pelaksana
Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp. P (K) RS Persahabatan
Sekertaris dr. Priyanti Z Soepandi, Sp. P (K) RS Persahabatan
Anggota Prof. dr. Herdiman Pohan, Sp. PD (K) FK-UI
Prof. Sri Rezeki S. Hadinegoro, MD., Ph.D TAG
Prof. dr. Amir Madjid, Sp. An, KIC IDSAI
dr. Iwan Muljono, MPH Direktur P2ML
dr. T. Marwan Nusri, MPH Direktur Yanmedik
Dasar
dr. Sardikin Giriputro, Sp. P, MARS Dirut RSPI
Dr. dr. Trihono, MSc. Kapuslit Biomedis dan
Farmasi
dr. I Nyoman Kandun, MPH Jaringan Epidemiologi
Nasional
dr. David Mulyono, PhD. Lembaga Eijkman
Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp. A (K) RSCM
dr. Sri Suprapti RSCM
dr. Rudi P RSCM
dr. Rismala Dewi, Sp. A RSCM
dr. C Martin Rumende Sp. PD-KP RSCM
dr. Julianto Witjaksono, MGO, Sp. OG, KFER RSCM
dr Zuswayudha Samsu Sp. An KIC, KAKV RS Harapan Kita
dr. Dewa RS Persahabatan
dr. Sulastri RSPI
dr. Yohanes W.H George, SpAn. KIC RSPI
dr. Supriyantoro RSPAD
dr. Alexander K Ginting RSPAD
dr. Erlina Burhan RSIJ
dr. Fera Ibrahim, PhD. Mikrobiologi UI
dr. Fathyan FK-UI
dr. Indriyono Tantoro, MPH GF PP-PL
Dr. dr. Julitasari Sundoro, MSc TAG
dr. Rinaldi IDSAI
dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp. A (K) IDAI
dr. Sidik Utoro, MPH POSKO KLB PP-PL
dr. Roenizar Roesin, MPH POSKO KLB PP-PL
dr. Erfandi, MPH POSKO KLB PP-PL
Imam Setiaji, SH Hukormas
dr. Wuwuh Utami N Kasubdit Gawat
ii
Darurat, Yanmedik
Dasar
dr. Arie Bratasena Kasubdit ISPA
Dr. Hari Santoso, SKM, M. Epid Kasubdit Surveilans
drh. Wilfried Purba, MKes Kasubdit Zoonosis
dr. Sholah Imari, MSc Kasudit Haji
Dr. Komarruddin K3
TIM DEPKES
subdit ISPA, P2ML
subdit Surveilans
Subdit Gawat Darurat, Yanmedik Dasar
Binkesmas
subdit Zoonosis
Pusat Promkes
Litbangkes
Binfar
subdit Haji
subdit Karkes
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 1
PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
INFLUENZA A BARU (H1N1)
I. PENDAHULUAN
Pedoman ini adalah membahas tentang Diagnosis dan Penatalaksanaan
Influenza A Baru (H1N1) yang merupakan rangkuman rekomendasi yang terdiri dari
berbagai keilmuan epidemiologi, mikrobiologi, farmakologi, klinik yang meliputi
berbagai cabang spesialisasi (pulmonologi, penyakit dalam, pediatri, intensivist anak
dan dewasa, kebidanan) dan TAG imunisasi yang dibantu penuh oleh jajaran
Depkes yaitu Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan dan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Dasar.
Strategi penyusunan pedoman ini didasarkan pada berbagai data epidemiologi
terkini, sedikit data klinik serta referensi dari berbagai Badan yang berwenang dalam
bidang virologi khususnya influenza (WHO, CDC, dll), Jurnal Kedokteran dan
Biomedis terkemuka.
Beberapa kaidah yang perlu dipahami adalah sebagai berikut:
• Situasi influenza A baru (H1N1) baik di tingkat global maupun regional serta di
Indonesia sendiri terus mengalami perkembangan
• Hingga sekarang karakteristik virus H1N1 masih tetap sama dengan
karakteristik virus yang pertama terjadi di Meksiko
• Bagian terbesar penderita flu H1N1 dengan gejala ringan yang sembuh dengan
sendirinya maupun dengan terapi antivirus
• Sebagian kecil memerlukan perawatan rumah sakit bahkan ICU
• Telah terjadi kematian akibat virus H1N1 baru
• Data data klinik baik yang dipublikasikan terlebih data klinik di Indonesia masih
sangat sedikit.
• Walaupun kematian relatif sedikit namun kejadian kematian yang sangat cepat
pada influenza A baru (H1N1) maka pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
lebih memfokuskan pada kasus kasus berat khususnya yang mengancam jiwa
khususnya penanganan di ICU dengan tujuan mencegah kematian atau
menekan angka kematian seminimal mungkin.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 2
II. EPIDEMIOLOGI DAN SURVEILANS
a. Persiapan Menghadapi Gelombang Kedua
• WHO memberitahukan kepada negara-negara belahan utara untuk
bersiap-siap menghadapi kemungkinan terjadinya gelombang kedua
pandemi. Negara dengan iklim tropis, sebaiknya juga bersiap-siap untuk
bertambahnya jumlah kasus.
• Untuk negara belahan selatan sebaiknya tetap waspada karena
berdasarkan pengalaman sebelumnya, titik utama (hot spot) lokal dapat
meningkatkan transmisi dan berpotensi menjadi pandemi
• Virus H1N1 saat ini merupakan strain virus yang dominan.
b. Rekomendasi Surveilans
• Pemasangan thermal scanner, di pintu-pintu masuk negara RI dengan
tujuan untuk mendeteksi kemungkinan kasus H1N1 yang berasal dari luar
negeri.
• Penelusuran kontak sudah tidak efektif karena sudah terjadi penularan di
masyarakat.
• Surveilans epidemiologi direkomendasikan hanya untuk:
o Kasus-kasus yang memerlukan rawat inap, khususnya kasus dengan
pneumonia.
o Surveilans ILI berbasis laboratorium dan klinis secara sentinel. Hal ini
dikarenakan tahapan surveilans di Indonesia berdasarkan
perkembangan kasus sudah memasuki fase mitigasi, dimana
containment atau pegendalian penyebaran sudah sulit untuk
dilakukan.
o Penghitungan tambahan kasus positif masih diperlukan hal ini terkait
dengan perhitungan kebutuhan logistik dan penyebaran luas wilayah
yang terjangkit.
• Khusus untuk kasus meninggal perlu dilengkapi data medis yang lebih
lengkap, hal ini untuk mendalami lebih lanjut tentang karakteristik kasus
yang meninggal baik aspek virologik, pathogenesis, patofisiologi maupun
penatalaksanaannya
c. Surveilans Virologi
• Surveilans saat ini sebaiknya lebih diarahkan kepada pengamatan secara
intensif terhadap kemungkinan mutasinya virus H1N1 (surveilans virologi
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 3
di laboratorium dan kasus klaster). Hal ini untuk memonitor kemungkinan
terjadinya peningkatan virulensi dari virus tersebut ataupun kemungkinan
perubahan karakteristik virus.
III. DIAGNOSIS PADA DEWASA DAN ANAK
• Diagnosis influenza A baru H1N1 ditegakkan berdasarkan kriteria klinis
berupa gejala Influenza Like Ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 380C,
batuk, pilek, nyeri otot dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang mungkin
menyertai adalah sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah dan
diare. Pada anak gejala klinis dapat terjadi fatique.
• Diagnosis influenza A baru H1N1 dengan RT-PCR dilakukan hanya untuk
pasien yang dirawat, kluster dan kasus-kasus influenza yang tidak lazim
(unusual).
• Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien yang dirawat (kriteria
sedang dan berat)
o Laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, gula
darah sewaktu.
o Radiologi: foto toraks
o Pemeriksaan lainnya tergantung indikasi
• Pada darah perifer lengkap bila ditemukan leukopenia dan trombositopenia
dapat memperkuat diagnosis namun bila tidak ditemukan leukopenia dan
trombositopenia tidak menyingkirkan diagnosis
• Diagnosis influenza A baru H1N1 secara klinis dibagi atas kriteria ringan,
sedang dan berat.
o Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai
pneumonia dan tidak ada faktor risiko.
o Kriteria sedang gejala ILI dengan salah satu dari kriteria: faktor risiko,
penumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto rontgen toraks) atau disertai
keluhan gastrointestinal yang mengganggu seperti mual, muntah, diare
atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang merawat.
o Kriteria berat bila dijumpai kriteria yaitu pneumonia luas (bilateral,
multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, sindrom
sesak napas akut (ARDS) atau gagal multi organ.
• Kelompok risiko tinggi pada dewasa adalah faktor yang dapat memperberat
keadaan yaitu penyakit paru kronik (asma, penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK)), kehamilan, obesitas, penyakit kronik lainnya (penyakit jantung,
diabetes mellitus, gangguan metabolik, penyakit ginjal, hemoglobinopati,
penyakit immunosupresi, gangguan neurologi), malnutrisi dan usia > 65
tahun.
• Kelompok risiko tinggi pada anak adalah:
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 4
o Anak berusia kurang dari 5 tahun.
o Anak atau remaja (usia 6 bulan – 18 tahun) yang mendapat terapi aspirin
jangka panjang dan berisiko mengalami sindrom Reye setelah mendapat
infeksi virus influenza.
o Anak dengan penyakit paru kronik (asma, bronkiektasis, dysplasia
bronkopulmonal), penyakit jantung, ginjal dan hati, penyakit
neuromuskular kronik (sindrom down, CP spastic, delayed development,
miastenia gravis).
o Anak dalam keadaan imunokompromais (keganasan, anemia
aplastik,dalam terapi imunosupresi atau HIV), diabetes mellitus,
hipertensi, obesitas dan tinggal di rumah perawatan dan fasilitas
perawatan kesehatan lainnya.
• Kriteria pneumonia berat pada dewasa yaitu bila dijumpai salah satu atau
lebih kriteria minor atau mayor.
o Kriteria minor yaitu Frekuensi napas > 30 /menit, foto toraks paru
menunjukkan kelainan bilateral atau melibatkan 2 lobus, tekanan sistolik <
90 mmHg, tekanan diastolik < 60 mmHg.
o Kriteria mayor yaitu perburukan foto toraks secara progresif dalam 24 jam,
membutuhkan vasopressor > 4 jam (septik syok), kreatinin serum >2
mg/dl atau peningkatan >2 mg/dl, pada penderita penyakit ginjal atau
gagal ginjal yang membutuhkan dialisis, PaO2/FiO2 kurang dari 300
mmHg.
• Kriteria pneumonia pada anak yaitu gejala ILI dan frekuensi napas yang
cepat (frekuensi napas sesuai usia) dan/atau terdapat kesukaran bernapas
yang ditandai dengan retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi
suprasternal, retraksi subkostal (chest indrawing) atau napas cuping hidung
IV. TATALAKSANA PADA DEWASA DAN ANAK
a. Kasus ringan.
Sebagian besar kasus akan sembuh dalam waktu satu minggu. Penanganan
pada kasus ringan tidak pemerlukan perawatan RS, tidak memerlukan
pemberian antivirus kecuali kasus dengan klaster serta diberikan pengobatan
simptomatik dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pada pasien dan
keluarga. Pasien diamati selama 7 hari. Pengobatan simptomatik diberikan
sesuai gejala. Salisilat tidak boleh diberikan pada anak di bawah 18 tahun
dapat menyebabkan Reye Syndrome.
b. Kasus sedang.
Perawatan di ruang isolasi dan diberikan antivirus. Dilakukan pemeriksaan
RT-PCR hanya satu kali pada awal. Jika keadaan umum dan klinis baik dapat
dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi perburukan rawat ICU penatalaksanaan
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 5
sesuai kasus berat (pengawasan ketat tanda kegawatdaruratan misal
pemeriksaan laktat dehidrogenase > 4, analisis gas darah menunjukkan
PaCO2 <30 mmHg, C-reactive protein atau procalcitonine).
c. Kasus berat.
Perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan antivirus serta
diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada influenza A baru H1N1 yang
berat dengan pneumonia gambarannya sama dengan pneumonia pada flu
burung .
d. Kasus berat pada anak
Apabila terdapat pneumonia dan/atau ditemukan gejala berbahaya / berat
seperti tidak bisa minum, muntah terus menerus, kebiruan di sekeliling bibir,
kejang, tidak sadar , anak dibawah 2 tahun dengan demam atau hipotermia,
pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran
menurun, ARDS (sindroma sesak nafas akut), gagal multi organ.
e. Kriteria rawat ICU
Yaitu gagal napas (kriteria gagal napas: analisis gas darah PaCo2 < 30
mmHg, frekuensi pernapasan > 30 x/m, pada anak sesuai usia, rasio
PaO2/FiO2 < 200 ARDS, < 300 ALI), syok (kriteria syok: tekanan darah
diastolic < 80 mmHg, pada anak takikardia, laktat dehirogenase > 4, bila
tersedia fasilitas)
Antiviral
• Direkomendasikan pemberian Oseltamivir atau Zanamivir. Zanamivir dapat
diberikan pada kasus yang diduga resisten Oseltamivir atau tidak dapat
menggunakan Oseltamivir.
• Pemberian antiviral tersebut diutamakan pada pasien rawat inap dan
kelompok risiko tinggi komplikasi.
• Pengobatan dengan Zanamivir atau Oseltamivir harus dimulai sesegera
mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit.
• Dosis pemberian Oseltamivir untuk dewasa adalah 2 x 75 mg selama 5 (lima)
hari, dapat diperpanjang sampai 10 hari tergantung respons klinis.
• Dosis pemberian Zanamivir untuk usia ≥ 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10
mg inhalasi.
• Dosis Oseltamivir pada anak, 2 mg/kg BB dibagi dalam 2 (dua) dosis atau
berdasarkan kisaran berat badan.
Berat Badan Dosis Oseltamivir
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 6
< 15 Kg 30 mg (2x/hari)
15-23 Kg 45 mg (2x/hari)
24-40 Kg 60 mg (2x/hari)
>40 Kg 75 mg (2x/hari)
• Rekomendasi dosis oseltamivir untuk anak < 1 tahun.
Usia Dosis Oseltamivir
< 3 bulan 12 mg (2x/hari)
3-5 bulan 20 mg (2x/hari)
6-11 bulan 25 mg (2x/hari)
• Perempuan hamil direkomendasikan untuk diberi Oseltamivir atau Zanamivir.
• Antiviral tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada influenza A (H1N1).
Antibiotik
• Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk diberikan
berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia didapat masyarakat.
Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal.
• Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik profilaksis.
• Rekomendasi antibiotik pada dewasa yang dianjurkan adalah golongan betalaktam
atau sefalosporin generasi III, aminoglikosida atau fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin atau moksifloksasin) kecuali untuk anak.
• Pada anak dengan pneumonia ringan dapat diberikan Ampicillin (100
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis) dan bila klinis berat Ampicillin dapat
dikombinasikan dengan golongan Aminoglikosida yaitu Gentamisin
(7.5mg/kgBB/hr) atau Amikasin (15-25 mg/kgBB/ hr).
Kortikosteroid
• Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada pasien
influenza A baru H1N1.
• Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga
mengalami adrenal insufisiensi. dapat diberikan dosis rendah hidrokortison
300 mg /hari dosis terbagi.
V. TATALAKSANA ICU PADA DEWASA
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 7
• Kriteria perawatan di ruang rawat intensif (ICU) adalah semua pasien yang
memenuhi kriteria sepsis berat, syok septic, acute lung injury (ALI) dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS).
• Gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan intensif atau kriteria
intubasi dan penggunaan ventilator sesuai dengan kriteria Pontoppidan yang
dimodifikasi.
• Bila memasuki untuk tindakan observasi ketat, fisioterapi dada dan terapi
oksigen sebaiknya pasien dirujuk ke ICU atau paling tidak di high care unit.
• Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari 6 jam, yang
menunjukkan kebutuhan oksigen yang semakin meningkat untuk
mendapatkan SaO2 > 95%, maka pasien dirujuk ke ICU.
Pengelolaan umum di ICU
• Pengobatan ARDS akibat infeksi virus influenza A (H1N1) baru harus
berdasarkan pada evidence based guideline seperti yang terdapat pada
rekomendasi Surviving Sepsis Campaingn 2008 yang sudah dipublikasikan:
o Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau
peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan resusitasi
yang telah ditentukan.
o Membuat diagnosis dengan melakukan pemeriksaan kultur sebelum
memulai pemberian antibiotika (tidak menunda pemberian antibiotika
secara bermakna). Melakukan pemeriksaan pencitraan (imaging) segera
untuk memastikan dan mencari sumber infeksi.
o Terapi antibiotik diberikan sesegera mungkin dan diberian dalam jam
pertama setelah diagnosis sepsis berat atau syok sepsis ditegakkan.
Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik spektrum luas. Mengevaluasi
ulang antibiotik setiap hari untuk menilai efikasi, mencegah resistensi dan
lainnya.
o Identifikasi sumber infeksi sesegera mungkin dalam 6 jam pertama dan
melakukan tindakan untuk mengatasinya. Memilih tindakan source control
yang menghasilkan efikasi maksimal dan gangguan fisiologi minimal.
o Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid atau
koloid. Targer CVP ≥ 8 mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥ 12 mmHg).
Menggunakan fluid challenge tehnique and memonitor bila terjadi
perbaikan. Laju pemberian cairan harus diturunkan jika terdapat
peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa perubahan hemodinamik
secara bersamaan.
o Pemberian vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Pilihan
pemberian awal norepineprin dan dopamin adalah melalui vena sentral.
Tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal.
Menggunakan kateter arterial pada pasien yang menggunakan
vasopresor.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 8
o Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan
miokard yang ditandai dengan peningkatan tekana pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah. Jangan meningkatakan cardiac index untuk
mendapatkan level supranormal.
o Penggunaan steroid tidak direkomendasikan rutin pada infeksi H1N1 tapi
dosis rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada syok septik yang
memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi.
Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason. Dosis hidrokortiosn
sebaiknya < 300 mg/hari. Jangan menggunakan kortikosteroid untuk
menangani sepsis apabila tidak ada syok kecuali endokrin dan riwayat
pemberian kortikosteroid memang terbukti diperlukan.
o Penggunaan rhAPC (Recombinant Human Activated Protein C). Saat ini
belum tersedia di Indonesia. Pertimbangkan rhAPC pada pasien dengan
gangguan fungsi organ yang diinduksi oleh sepsis dengan penilaian klinis
mempunyai risiko kematian tinggi (APACHE II ≥ 25 atau kegagalan organ
multiple) jika tidak terdapa kontraindikasi. Pasien dewasa dengan sepsis
berat dan risiko kematian yang rendah (APACHE II < 20 atau kegagalan
organ tunggal) sebainya jangan diberikan rhAPC.
o Pemberian komponen darah apabila penurunan Hb sampai > 7.0 g/dL
(<70 g/L) hingga mencapai 7.0-9.0 g/dL pada dewasa. Nilai Hb yang lebih
tinggi dibutuhkan pada keadaan tertentu (iskemia miokardial, hipoksemia
berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianoss, asidosis laktat. Jangan
menggunakan terapi antitrombin.
o Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS. Menggunakan
mode ventilator apa saja. Set ventilator setting untuk mencapai inisial Vt =
8 ml/kg prediksi BB. Set inisial laju napas mendekati volume baseline
(tidak lebih dari 35x/menit). Target volume tidal 6 ml/kg prediksi berat
badan pasien dengan ALI/ARDS. Target pH 7.30 – 7.45. Manajemen
asidosis (pH < 7.30). PaCO2 dapat ditingkatkan diatas normal. Jika
dibutuhkan untuk meminimalisir tekanan plateau dan volume tidal.Target
oksigenisasi PaO2 55-80 atau SpO2 88-95%. Pengaturan PEEP untuk
mencegah kolpas paru ekstensif pada ekspirasi akhir. Pasien dengan
ventilasi mekanik pertahankan posisi semirecumbent (bagian atas tempat
tidur dinaikkna sampai 45°). Menggunakan protokol weaning dan SBT
secara teratur untuk mengevaluasi potensi penghentian ventilasi mekanik.
Jangan menggunakan kateter arteri plmonalis untuk monitor rutin pasien
ALI/ARDS. Mengunakan strategi cairan konservatif pada pasien ALI yang
tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan.
o Sedasi, analgesia dan blok neuromuskular pada sepsis. Menggunakan
protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi mekanik
dalam keadaan kritis. Dapat menggunakan sedasi bolus intermitten atau
sedasi infuse kontinu untuk mencapai titik akhir (skala sedasi) dengan
lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran. Titrasi jika
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 9
dibutuhkan. Mencegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor
kedalaman blok dengan train of four ketika menggunakan infuse kontinu.
o Mengontrol glukosa dengan menggunakan insulin IV untuk mengontrol
hiperglikemia pada pasien dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU..
target gula darah < 150 mg/dL (8.3 mmol/L) menggunakan protokol
tervalidasi untuk pengaturan dosis insulin. Memberikan sumber kalori
glukosa dan monitor nilai gula darah setiap 1-2 jam (setiap 4 jam saat
stabil) pada pasien yang mendapatkan insulin IV. Intrepretasi glukosa
darah yang rendah secara hati-hati pada hasil pemeriksaan point of care
testing, karena tehnik ini mungkin memberikan nilai yang lebih tinggi
(overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri atau plasma.
o Penggantian ginjal. Hemodialisis intermiten dan CVVH dianggap sama.
CVVH menawarkan manajemen yang lebih mudah pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil.
o Terapi bikarbonat. Jangan menggunakan terapi bikarbonat untuk tujuan
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor
sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan
pH ≥ 7.15.
o Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT). Menggunakan unfractionated
heparin (UFH) dosis rendah atau low molecular weight heparin (LMWH),
kecuali ada kontraindikasi. Menggunakan peralatan profilaksis mekanik,
seperti compression stockings atau intermittent compression device, bila
heparin merupakan kontraindikasi.
o Profilaksis Stress Ulcer. Melakukan pencegahan stress ulcer dengan
menggunakan H2 bloker atau Proton pump inhibitor. Keuntungan
pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus mempertimbangkan
potensi munculnya ventilator acquired pneumonia.
o Mempertimbangkan keterbatasan dukungan. Mendiskusikan rencana
perawatan lebih lanjut dengan pasien dan keluarga. Berikan gambarangambaran
seperti perkiraan hasil perawatan dan harapan yang realistik.
Kriteria keluar ICU
Setiap pasien yang dirawat di ICU dapat dikeluarkan setelah memenuhi kriteria
yaitu penyakit atau keadaan pasien dan cukup stabil sehingga tidak memerlukan
terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut, terapi atau pemantauan intensif
tidak diharapkan bermanfaat atau tidak memberikan hasil (pasien dengan mati
batang otak, penyakit dengan stadium akhir). Dalam hal tersebut pengeluaran
pasien dari ICU dilakukan setelah memberitahu dan disetujui oleh keluarga
terdekat pasien, pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU
(keluar paksa).
VI. TATALAKSANA ICU PADA ANAK
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 10
• Indikasi untuk masuk ICU anak yaitu peningkatan Work of Breathing
(WOB), kebutuhan terapi oksigen dengan FiO2 > 0.5, PaO2 menurun, PCO2
meningkat, PaO2/FiO2 < 300, gangguan sirkulasi yang mengancam nyawa,
kesadaran menurun atau kelainan neurologik lain, gangguan metabolik berat
dan gagal multi organ
Perawatan Jalan Nafas dan Respirasi
• Terapi oksigen dengan dengan alat non invasif seperti nasal kanul, masker
atau nasal CPAP, pertahankan saturasi ≥ 90%.
• Jika memakai ventilasi mekanik, dianjurkan dengan pengaturan awal sebagai
berikut:
o Mode : Pressure Control Ventilation (PCV)
o Volume tidal : 6-8 ml/kgBB
o Titrasi PEEP > 5 cm H2O
o Respiratory Rate (RR) sesuai usia
o Tekanan Inspirasi : mulai dari 10 cm H2O
o FiO2 : 1.0 (100%)
• Lakukan pemeriksaan analisis gas darah 30 menit setelah pengaturan awal.
• Pertahankan saturasi 88-95%.
Mempertahankan Sirkulasi yang Adekuat
• Pemberian cairan resusitasi berupa kristaloid atau koloid 20 ml/kgBB dalam
5-10 menit dengan pemantauan pada tingkat kesadaran, frekuensi denyut
jantung, kualitas nadi, waktu pengisian kapiler < 3 detik, produksi urin > 1
ml/kgBB/jam, saturasi vena sentral > 70% dan kadar laktat < 2 mmol/L.
• Vasopresor dan inotropik hanya digunakan setelah resusitasi cairan yang
adekuat.
• Dopamin adalah pilihan pertama pada hipotensi yang refrakter terhadap
cairan.
• Pertahankan volume cairan tubuh normal dan pemantauan dengan CVP.
• Pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison atau metilprednisolon 1-2
mg/kgBB hanya diberikan bila terindikasi adanya insufisiensi adrenal relatif.
Antibiotik
• Antibiotik empirik sesuai pedoman pengobatan di masyarakat dan pedoman
lokal.
• Sefalosporin generasi III: sefotaksim, seftazidim (25-50 mg/kgBB/hr dibagi 3)
• Aminoglikosida: gentamisin (7,5mg/kgBB/hr), amikasin (15-25 mg/kgBB/ hari)
Pemberian Nutrisi
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 11
• Basal metabolic rate sesuai umur
o 1 tahun : 55 kkal/kgBB/hari
o 5 tahun : 45 kkal/kgBB/hari
o 10 tahun : 38 kkal/kgBB/hari
• Kebutuhan energi sesuai berat badan
o < 10 kg : 100 kkal/kgBB/hari
o 10-20 kg : 1000 kkal + 50 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 10 kg
o > 20 kg : 1500 kkal + 20 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 20 kg
• Kontrol glukosa : 4-6 mg/kgBB/menit
Indikasi keluar ICU Anak
• Tidak membutuhkan tunjangan dan pemantauan ketat pernafasan dan
hemodinamik.
• Kondisi pasien stabil minimal 24 jam.
VII. LABORATORIUM
• Uji diagnostik laboratorium yang direkomendasi untuk uji konfirmasi
kasus influenza A H1N1 adalah real time (RT)-PCR. Hasil dinyatakan positif
jika untuk virus influenza A baru H1N1 positif dan untuk H1, H3, dan H5
memberikan hasil negatif dengan teknik tersebut. Pemeriksaan laboratorium
untuk deteksi virus influenza A baru H1N1 diperlukan spesimen swab atau
aspirat nasofaring, swab hidung dan swab tenggorok atau bilas hidung atau
aspirat trachea pada saat pasien datang. Tata cara spesimen dan uji
laboratorium meliputi jenis, cara pengambilan, pengolahan dan penanganan
spesimen serta metoda pemeriksaan sesuai dengan pedoman yang
dianjurkan CDC.
• Uji Rapid Test untuk influenza A tidak direkomendasikan untuk uji
konfirmasi kasus influenza A baru H1N1.
• Lembaga khusus untuk melakukan pemantauan karakter dan perubahan
virus secara terus menerus perlu ditetapkan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi serta pengembangan vaksin influenza.
VIII. IMUNISASI INFLUENZA A BARU (H1N1)
• Vaksinasi influenza musiman A dan B (seasonal influenza vaccine), yang
tersedia tidak bermanfaat untuk mencegah virus Influenza A baru H1N1.
• Untuk mencegah penyebaran virus Influenza A baru H1N1 di masyarakat,
maka perlu diupayakan vaksin Influenza A baru H1N1.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 12
• Prioritas sasaran imunisasi influenza A baru (H1N1) mengacu kepada
rekomendasi SAGE, ACIP dan CDC adalah wanita hamil, petugas
kesehatan dan personal pelayanan gawat darurat, individu yang merawat
bayi berumur kurang dari 6 bulan (misalnya orang tua, saudara, petugas
penitipan anak), anak usia 6 bulan - 4 tahun, anak usia lebih dari 5 tahun
sampai dewasa dengan faktor risiko tinggi (menderita penyakit kronis dan
defisiensi sistem kekebalan/immuno compromized), dewasa sehat usia
lebih dari 65 tahun (apabila vaksin influenza A baru H1N1 mencukupi).
• Dosis dan Cara pemberian:
o Dosis vaksin untuk usia 6 bulan sampai kurang dari 3 tahun: 0,25 ml dan
untuk usia diatas 3 tahun sampai dewasa : 0,5 ml. Diberikan 2 dosis
dengan selang waktu minimal 4 minggu.
o Vaksin diberikan secara intramuskular di daerah otot deltoid pada orang
dewasa dan pada anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi
diberikan di paha anterolateral.
• Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) vaksin Influenza A Baru H1N1
seperti imunisasi influenza musiman pada umumnya :
o Reaksi lokal dan ringan: nyeri lokal bekas suntikan, kemerahan dan
indurasi
o Reaksi sistemik berupa: demam ringan, nyeri kepala, menggigil, lemas
dan mialgia (flu-like symptoms) jarang terjadi. Reaksi sistemik yang
segera terjadi (sistemik anafilaktik) jarang ditemukan dan belum
dilaporkan. Reaksi sistemik lain yang perlu diantisipasi dan dilaporkan
pada orang dewasa adalah Sindrom Guillane Barre
o Pada pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau
adanya respons alergi terhadap protein telur, vaksinasi influenza A baru
H1N1 jangan diberikan.
• Kontra indikasi vaksinasi Influenza A baru H1N1 apabila terdapat riwayat
anafilaksis pada imunisasi terdahulu, sedang menderita penyakit demam
akut yang berat dan individu dengan defisiensi imun.
• Referensi terbaru tentang vaksinasi Influenza A baru H1N1cukup dengan
satu kali pemberian terbukti memperlihatkan daya proteksi yang baik.
IX. REKOMENDASI PENELITIAN
• Memantau proporsi H1N1/H5N1 terhadap flu musiman secara
berkesinambungan.
• Memantau karakteristik virologi H1N1.
• Mengevaluasi rapid test yang beredar.
• Mengevaluasi sensitivitas obat antivirus.
• Mengevaluasi efektivitas obat antivirus baik monoterapi maupun kombinasi
pada kasus berat.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 13
• Meneliti kasus berat dan meninggal, faktor-faktor yang berpengaruh,
diagnostik virologik, karakteristik klinik, parameter yang digunakan untuk
menilai prognosis, evaluasi terapi farmakologik dan non farmakologik.
• Mengevaluasi manfaat vaksin flu musiman terhadap H1N1, khususnya
dalam mencegah atau menekan tingkat keparahan penyakit dan kematian.
• Mengevaluasi efektifitas dan KIPI vaksin H1N1.
X. PENUTUP
Mengingat situasi influenza A baru H1N1 masih terus berkembang perlu dilakukan
pemantauan secara terus menerus serta merevisi setiap ada fenomena baru atau hal
hal baru yang bermakna baik dari aspek epidemiologik, virologik, klinik, terapi
maupun imunisasi dengan tujuan mencegah meluasnya penyakit, mencegah
kematian dan menekan angka kematian seminimal mungkin.

Kamis, 28 April 2011

sesak nafas lagi

LAPORAN PBL 2
SESAK NAFAS LAGI
BLOK RESPIRASI







Tutor   :
dr. Dwi Arini E.

Disusun oleh :
KELOMPOK 5
Lucky Mariam                                G1A009005
Sarah Maulina O.                            G1A009015
Ryan Aprilian P.                             G1A009025
Windi Nofiatri R.                           G1A009035
Astrid Meilinda                              G1A009045
Pramasanti Hera                             G1A009102
Selly Marcella                                 G1A009104
Arya Yunan P.                                G1A009113
Arfin Heri I.                                   G1A009117
Yohan Parulian                               G1A009130
Fauziah Rizki I.                              G1A009132


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem pernafasan merupakan salah satu sistem dalam tubuh untuk mempertahankan homeostasis. Sistem pernafasan berperan bagi homeostasis dengan memperoleh O2 dari dan mengeluarkan CO2 ke lingkungan eksternal. Sistem ini membantu mengatur pH lingkungan internal dengan menyesuaikan tingkat pengeluaran CO2 pembentuk asam.
Fungsi utama pernafasan adalah untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan oleh sel sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel. Dalam fisiologi, pernafasan memiliki makna yang luas. Terdiri dari respirasi internal atau seluler yang mengacu kepada proses meetabolisme intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan dan menghsilkan CO2 selama penyerapan energy dari molekul nutrient dan respirasi eksternal yang mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Namun kita bisa menemukan beberapa kelainan dalam sistem pernafasan, diantaranya adalah asma bronkiale. Definisi asma yang saat ini banyak dipakai di Indonesia yaitu asma adalah penyakit paru dengan karakteristik :
1.      Obstruksi saluran nafas yang bersifat reversible baik secara spontan maupun secara farmakologis.
2.      Inflamasi saluran pernafasan bersifat kronis.
3.      Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan.
Karakteristik ini menyebabkan terjadinya gejala-gejala asma seperti batu, mengi, dan sesak nafas. Obstruksi saluran nafas ini berlangsung secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap selama pengobatan. Berat ringannnya obstruksi saluran nafas tergantung pada diameter lumen saluran nafas, dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mucus, kontraksi, dan hipertrofi otot polos bronkus. Hipotesis dianggap akibat peningkatan respon terhadap berbagai rangsang didasari oleh inflamasi saluran pernafasan.
Insiden terjadinya asma dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Insiden terjadinya asma di Indonesia antara 5 sampai 7%, prevalensi terjadinya asma lebih banyak pada anak kecil daripada orang dewasa.
Dalam kesempatan PBL ini mahasiswa memiliki kesempatan untuk membahas dan mempelajari asma bronkiale. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui diagnosis banding dari asma bronkiale, definisi asma bronkiale, gejala asma bronkiale, pemeriksaan fisik dan tata cara penatalaksanaannya yang paling sesuai dan mungkin untuk dilaksanakan.




BAB II
PEMBAHASAN

INFORMASI 1
An. Andi 3 tahun datang diantar ibunya (jam 09.00) ke IGD sebuah RS di Purwokerto. An. Andi tampak agak sesak, namun masih bisa bicara dengan jelas. Sesak sudah berlangsung 2 jam yang lalu, semakin lama semakin bertambah parah. Andi sudah 3 hari batuk panas, sudah berobat ke dokter namun belum ada perbaikan. Sebelum ke RS, An. Andi sudah diberi obat turun panas oleh ibunya.

Pertanyaan :
1.      Apa DD yang mungkin untuk An. Andi
a.       Asma : Karena keluhan sesak tiba-tiba yang didahului dengan batuk dan panas. Selain itu asma sering terjadi pada usia anak-anak. Namun perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih mendalam untuk memastikan penyebab asma.
b.      Pnuemonia : Pada pneumonia didapatkan gejala klinik antara lain batuk, demam, dan sesak napas, dan napas cepat.
c.       Bronkitis : Tterdapat gejala demam dan sesak nafas
d.      Rinitis : Pada rhinitis alergi terdapat gejala seperti sesak nafas dan batuk.

2.      Anamnesis apa yang harus ditanyakan (alloanamnesis) ke ibunya?
RPS = aktivitas yang memperberat dan memperingan gejala
RPK = riwayat atopik dan keluhan yang sama di keluarga
RPD = obat yang telah digunakan
RPSos = lingkungan rumah, hewan, makanan, gaya hidup, pekerjaan

I.                KLARIFIKASI ISTILAH
Tidak ada

II.             BATASAN MASALAH
a.       Andi 3 tahun
b.      Keluhan utama : Sesak nafas
-          Onset : 2 jam yang lalu
-          Progresifitas : semakin parah
-          Keluhan lain : 3 haru batuk panas
-          Sudah diberi obat oleh dokter à tidak ada perbaikan
-          Sudah diberi penurun panas

INFORMASI 2
Dari  alloanamnesis didapatkan :
·         Tiga hari An. Andi menderita batuk berdahak (dahak sulit keluar) dan panas. Batuk terutama malam hari menjelang pagi. Anak juga mengeluh sakit tenggorokan dan kadang muntah jika batuknya berat.
·         1 hari terakhir, batuk bertambah berat dan panas (+). Pagi ini Andi terlihat mulai sesak meskipun masih bias bicara dengan jelas. Suara mengi “ngik-ngik” mulai terdengar.
·         Riwayat sakit yang sama pernah dialami Andi kurang lebih 3 kali dalam 1,5 tahun terakhir. Andi juga sering pilek dan bersin-bersin pada pagi hari.
·         Ibu Andi juga ternyata sering mengeluh sesak nafas. Kakak Andi (10 tahun) waktu balita juga sering batuk dan sesak.
·         Andi hidup dalam keluarga sederhana, dengan rumah : lantai belum diplester, dinding sebagian kayu/bamboo dan atap genteng namun belum dipasang eternit. Ayah Andi seorang perokok dan bekerja sebagai buruh bangunan. Pengobatan ditanggung oleh Jamkesmas.

Pertanyaan :
3.      Dari beberapa DD yang anda ajukan, mana yang paling mungkin? Alasan?
Diagnosis yang paling mungkin adalah asma. Karena terdapat suara mengi “ngik-ngik” dan riwayat atopik pada keluarga.
4.      Pemeriksaan fisik apa yang anda harapkan ada pada pasien tersebut?
a.  Asma : 
Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk
Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
Paru :
·            Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah.
·            Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
·            Perkusi : hipersonor
·            Palpasi : Vokal Fremitus kanan = kiri
b.      Pnuemonia :
KU: penderita tampak sakit, berkeringat, panas tinggi dan menggigil
Dada : Inspeksi bisa terdapat retraksi dada. Palpasi didapatkan fremitus raba meningkat di sisi yang sakit. Perkusi di daerah yang sakit didapatkan redup. Auskultasi didapatkan suara napas bronkial, ronki basah halus, bronkofoni, dan whispered pectorilogy.
Abdomen: kadang-kadang terdapat distensi abdomen.
c.       Bronkitis :
-          Pasien tampak kurus dengan barrel shaped chest
-          Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada
-          Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang
-          Suara nagas berurang dengan ekspirasi memanjang
d.      Rinitis
Pada riniskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat, atau livid, disetai banyak secret encer. Di luar serangan, mukosa kembali normal, kecuai bila telah berlangsung lama.


INFORMASI 3
An. Andi, laki-laki, 3 tahun, BB 12 kg
-          KU : anak tampak sesak nafas, masih dapat bicara dengan jelas
-          TV : HR 110x/menit, RR 40x/menit t 37.50C
-          Hidung : nafas cuping (+)
-          Mulut : sianosis (-)
-          Tenggorokan : faring hiperemis (+), Tonsil T2-2, hiperemis (+), kripte melebar (-), lain-lain :dbn
-          Dada : retraksi suprasternal (+), SD : vesikuler, ekspirasi diperpanjang, ST : Ronkhi +/+, wheezing +/+.
-          Abdomen : bising usus (+) normal
-          Ekstremitas : sianosis (-)

Pertanyaan :
5.      Apa diagnosis kerja anda sekarang?
Asma Bronkiale
6.      Definisi Asma Bronkiale?
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.
            Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dan menimbulkan kematian.





7.      Struktur (anatomi) yang terlibat dalam kejadian asma bronkiale?
Terdapat penyempitan bronkus ataupun bronkiolus







8.      Faktor risiko terjadinya asma?
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan.
1.         Faktor genetik
a.    Hipereaktivitas
b.   Atopi/alergi bronkus
c.    Faktor yang memodifikasi penyakit genetic
d.   Jenis kelamin
e.    Ras/etnik
2.         Faktor lingkungan
a.       Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b.      Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c.       Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu, sapi, telur)
d.      Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker)
e.       Bahan-bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, househoid spray)
f.       Ekspresi emosi berlebih
g.      Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h.      Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i.        Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas tertentu
j.        Perubahan cuaca

9.      Patogenesis dan Patofisiologi Asma Bronkiale?
Patogenesis
Patogenesis dan etiologi belum diketahui secara pasti. Namum menurut penelitian dasar gejala asma adalah karena ada inflamasi dan proses nafas yang berlebihan
1.      Asma sebagai inflamasi
Dalam inflamasi ada kalor (panas karena vasodilatasi), rabor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsang sensorik) dan functio laesa (fungsi yang terganggu).
Asma sebagai inflamasi ada 2 jalur yaitu jalur imunologis (didominasi IgE) dan jalur non alergik (jalur autonom).
a.          Jalur Imunologis (dominasi IgE)
Alergen Masuk ke dalam Tubuh
Diolah APC (Antigen Presenting Cells)
Dikomunikasikan ke sell T Helper
Th instruksi melalui interleukin/sitokin
Sel Plasma Membentuk IgE + Sel-sel Radang
(sel radang : mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, limfosit)
Mediator Inflamasi keluar
(histamine, prostalgladin, leukotrin, bradikinin, tromboksin,dll)
Mempengaruhi Organ-organ Target
↑ Permeabilitas Dinding Vaskuler
Edema Saluran Nafas
Infiltrasi Sel-sel Radang
Sekresi Mukus
Fibrosis Sub Epitel
Hipereaktivitas Saluran Nafas (HSN)

b.      Jalur Non Alergik (Jalur Saraf Autonom)
Merangsang Sel Inflamasi
Merangsang Sistem Saraf Otonom
Inflamasi + HSN

2.      Asma sebagai Hipersensitivitas Saluran Nafas (HSN)
HSN didapat sejak lahir, keadaan kenaikan HSN disebabkan karena :
a.       Inflamasi saluran nafas
b.      Kerusakan epitel :
-          ↑ penetrasi allergen
-          Mediator inflamasi
-          Iritasi ujung-ujung saraf otonom lebih sering mudah terangsang
c.       Mekanisme neurologis :
-          ↑ respon saraf parasimpatis pada orang yang menderita asma
d.      Gangguan intrinsik :
-          Otot polos saluran nafas & hipertrofi otot polos saluran nafas berperan dalam HSN
e.       Obstruksi saluran nafas :
-          Ikut berperan dalam HSN
Patofisiologi :
Takikardi, Wheezing, Faring hiperemis
Pajanan (alergen, infeksi, farmakologi, lingkungan, pekerjaan, exercise & emosi
Rangsangan awal (sel mast, basofil, makrofag)





Mediator – mediator radang

Kontraksi Otot  sekresi mucus ↑     Edema mukosa                   Vasodilatasi pembuluh darah



Peningkatan retensi nafas


Gangguan ventilasi                 Hambatan pada jalan nafas                 Faring
                                                                                        Hiperemis
Hipoksia                                  Suara melewati saluran sempit

Vasokonstriksi pembuluh              Bunyi “ngik – ngik”
darah paru                  

Hipertensi pulmonal                              Wheezing

Kerja jantung meningkat

Takikardi
Demam :
Pada asma terjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Saat penderita terpajan oleh alergen, akan mencetuskan sintesis antibodi IgE oleh limfosit B dan kemudian berikatan dengan antibodi tersebut. Limfosit B akan tersensitivasi untuk pertama kali dan akan menghasilkan sel pengingat (memory cell) yang akan menimbulkan respon yang lebih besar jika terpajan oleh alergen yang sama. Ketika tubuh terpajan alergen untuk kedua kalinya (reasi sekunder) alergen alergen akan berikatan dengan antibodi IgE dan memediasi sel mast, basofil, dan fagosit mengeluarkan mediator-mediator kimiawi. Sel fagosit akan melepas pirogen endogen (endogenous pyrogen, EP). Pirogen endogen akan menyebabkan pengeluran prostaglandin yang akan menaikkan termostat pengatur suhu tubuh pada hipotalamus.

10.  Dasar diagnosis Asma Bronkiale?
Diagnosis Asma Bronkiale ditentukan dari proses anamnesis., pemeriksaan fisik, dan penunjang sebagai berikut,
a.    Anamnesis:
Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien asma antara lain:
1)   Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
2)   Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan (pencetus)?
3)   Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (common cold) merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
4)   Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas atau olahraga?
5)   Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat pelega (bronkodilator)?
6)   Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?
7)   Apakah ada penyakit alergi lainya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis alergi)?     
8)   Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?

b.      Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatnya kelainan. Selain itu, perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah wheezing (mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai derajat serangan):
1)        Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2)        Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus)
3)        Perkusi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata
4)        Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir

c.       Pemeriksaan laboratorium
1)        Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a)        Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
b)        Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
c)        Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d)       Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2)      Pemeriksaan darah
a)    Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
b)   Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c)    Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d)   Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

d.      Pemeriksaan penunjang
1)   Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a)      Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b)      Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
c)      Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d)     Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e)      Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2)   Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3)    Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi
menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada
empisema paru yaitu :
a)      perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
b)      Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB( Right bundle branch block).
c)      Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4)        Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5)   Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

Klasifikasi derajat serangan asma?
a.       Asma Intermiten
Gambaran klinis sebelum pengobatan
·         Gejala intermiten (kurang dari sekali seminggu)
·         Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
·         Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan
·         Di antara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal
·         Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas <20%
Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
b.      Asma Persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan
·         Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x per hari
·         Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
·         Serangan asma malam lebih dari 2 kali sebulan
·         Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%
Obat yang digunakan : setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu.
c.       Asma Persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan
·         Gejala setiap hari
·         Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
·         Serangan asma malam lebih dari 1 kali seminggu
·         Setiap hari menggunakan agonis beta 2 hirup
·         Nilai APE dan VEP1 antara 60-80% dari nilai prediksi, variabilitas >30%
Obat yang digunakan : setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan bronkodilator kerja panjang.
d.      Asma Persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan
·         Gejala terus menerus, sering mendapat serangan
·         Gejala asma malam sering
·         Aktivitas fisik terbatas karena gejala asma
·         Nilai APE dan VEP1 kurang dari 60% dari nilai prediksi, variabilitas >30%
Obat yang digunakan : setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang.

Klasifikasi episodik asma?
Tabel klasifikasi derajat asma pada anak











            Sumber: Depkes RI

11.  Bagaimana terapi komprehensif (preventif, promotif, kurattif, rehabilitatif) yang akan anda berikan?
Preventif :
Dengan cara edukasi :
a.      Memahami sifat-sifat dari penyakit asma :
Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.
Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa kambuh lagi.
Bahwa  kekambuhan  penyakit  asma  minimal  bisa  dijarangkan  dengan pengobatan jangka panjang secara teratur.
b.       Memahami  faktor  yang  menyebabkan  serangan  atau  memperberat  serangan, seperti :
Inhalan  :  debu  rumah,  bulu  atau  serpihan  kulit  binatang  anjing,  kucing, kuda dan spora jamur.
Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.
Keadaan  udara  :  polusi,  perubahan  hawa  mendadak,  dan  hawa  yang lembab.
Infeksi saluran pernafasan.
Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.
Stres psikis termasuk emosi yang berlebihan.
Stres fisik atau kelelahan.
Promotif
Dengan pola hidup yang sehat, seperti :
a.       Menghindari  makanan  yang  diketahui  menjadi  penyebab  serangan (bersifat individual).
b.      Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.
c.       Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.
d.      Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan
e.       Berusaha  menghindari  polusi  udara  (memakai masker),  udara  dingin  dan lembab.
f.       Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.
g.      Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.
h.      Minum  obat  secara  teratur  sesuai  dengan  anjuran  dokter,  baik  obat simptomatis maupun obat profilaksis.
i.         Pada  waktu  serangan  berusaha  untuk  makan  cukup  kalori  dan  banyak minum air hangat guna membantu pengenceran dahak
j.        Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan dengan temperatur hangat.
Kuratif
Pada dasarnya obat-obat anti asma yang digunakan yaitu untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma :
a.       Obat pencegah
Obat yang dipakai setiap hari dengan tujuan agar gejala asma persisten dapat terkendali. Yang termasuk obat-obatan pencegah yaitu kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, teofilin lepas lambat, agonis beta 2 kerja panjang hirup dan oral, dan obat-obatan anti alergi.
b.      Obat pengontrol
Yang termasuk obat pengontrol yaitu agonis beta 2 kerja pendek, kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek.
Rehabilitatif
      Untuk rehablitatif pada serngan asma yaitu memakai kortikosteroid.




12.  Definisi Rhinitis alergika?
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
13.  Struktur yang terlibat dalam Rhinitis Alergika?
Membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus, dan faring.

INFORMASI 4
-             Diagnosis kerja : Asma Attack (serangan asma) dan Tonsilofaringitis Akut/TFA
-             Diberikan NEBULISASI Salbutamol (Ventolin 1 nebule) dan Nacl 0,9% 2,5 ml (1 kali)
-             Dua puluh menit berikutnya : kondisi An. Andi tampak membaik, minta turun dari tempat tidurnya dan berlarian di UGD, tidak sesak nafas, suhu mulai menurun
-             Diagnosis Asma Bronkiale : serangan ringan dan episodic jarang dan TFA
-             An. Andididijinkan pulang oleh dokter jaga, dengan diberikan edukasi dan resep antibiotic, obat turun panas, salbutamol dan obat batuk
-             Resep untuk An. Andi berisi : Amoksisilin sy, puyer : salbutamol + ambroxol, parasetamol sy

Pertanyaan :
14.  Tulislah resep untuk An. Andi (BB 12 kg)! (catatan : salbutamol dan ambroxol dalam satu puyer




NINA DERMAWAN
DOKTER UMUM
SIP 102/DU/BMS/2011
Jalan Puteran 25, Berkoh, Purwokerto Selatan, 08562923011

Purwokerto, 17 April 2011
R/ Amoksisilin      syr 60 ml fl No I
                   



R/ Paracetamol syr 60 ml fl No I
            



R/ Salbutamol 2 mg tab 1
Ambroksol 30 mg tab
m.f.l.a pulv dtd No IX
                 




Pro            : An. Andi
Usia           : 3 th                                       






BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap an. Andi dapat diketahui diagnosis kerjanya adalah asma bronkial dan tonsilofaringitis akut.
            Asma bronkial merupakan suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dan menimbulkan kematian.
            Terapi terhadap asma bronkial dapat dilakuakan secara menyeluruh meliputi preventif, kuratif, prmotif, dan rehabilitatif
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dan Abdul Mukti. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2009.
Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem, edisi 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alvi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam    Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tanjung S.Kp , Dudut. 2003. Asuhan Kepertawatan Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Program Studi Ilmu Keperawatan. Medan.